Sabtu, 23 November 2013

Killing Machine



Cerpen oleh: Farid Ahmad
Killing Machine
Motor. Sejujurnya aku tidak tahu pasti kenapa benda yang awalnya diciptakan mungkin karena penasaran dan mungkin juga dikira bermanfaat ini sekonyong-konyong merubah laju ekonomi dan mobilitas kehidupan urban; mungkin keinginan ini memang sudah menjadi standar nilai-menilai bagi mereka yang merasa sudah maju dan lagi-lagi merasa terpelajar. Maka sudah sangat masuk akal, semua budaya konsumtif yang terintegrasi dengan kerakusan produksi telah menggenjot paradigma manusia-manusianya menjadi tipikal manusia yang banyak mengeluh dan menuntut. Segalanya harus serba cepat-lah, praktis-lah, dan macam-macam lagi. Maka tak heran, restoran Fast Food yang lazimnya disebut Junk Food itu tumbuh beramai-ramai: seperti flu babi, antraks, flu burung, yang lagi-lagi lahir karena semangat modernisasi, gengsi dan kerakusan akan hal-hal yang berlabel import.
Lamat-lamat produksi motor terasa kian gencar, menyasar konsumen di pelbagai strata dan tataran masyarakat sosial di segala belahan dunia ini. Beringas! Setiap produsen barang ini tak peduli bagaimanapun jadinya, tiap unit motor harus terjual berunit-unit perharinya. Limbah produksi menumpuk sedemikian rupa, dibuang ke laut jadi bencana, dibuang ke sungai apalagi… Akhirnya semua dilakukan juga. Persetan dengan hati nurani. Persetan dengan kemanusiaan dan masa depan anak cucu. Lebih baik begitu daripada harus menaikkan ongkos produksi, sementara begitu gaji-gaji karyawan dituntut naik, pajak kian melambung dan ego harus tetap dijaga: mati-matian kalau perlu.
Sementara semua hal bodoh ini berlangsung, jalan-jalan-pun telah dibangun menembus belukar hutan dan desa, dengan cepat dan aneh. Aneh, sebab kudapati makam kakekku pun harus dikeduk, lalu belulangnya dibenamkan ke tanah yang lain untuk yang kedua kalinya. Pembangunan itu memang tampak tak perlu menghormati leluhur atau apapun itu. Begitulah yang aku paham. Tapi ini semua sebenarnya mengusik sanubariku. Sebab, setelah kampung kakek-ku tersebut menjadi bagian dari ekspansi selera bermotor milik orang-orang yang doyan minum bensin itu. Tidak serta merta bisa mengembalikan keramaian zikir-zikir maghrib di surau kami, tidak juga menaikkan jumlah manusia-manusia penuh inisiatif dan berpendidikan mapan. Sementara di jalan-jalan, semua orang-orang yang bermotor itu kerap kali merasa sebagai si pemilik jalanan. Arwah kakekku pasti akan tak tenang, dan dengan kekuatan magis-nya akan membuat petaka-petaka picisan di layar televisi, entah apapun itu sebutannya.
Sedang di jalan-jalan, ada hukum rimba yang mengintai. Di kota, sopir-sopir angkutan umum yang merasa terusik jadi beringas dan belingsatan. Sementara para pemilik (atau penyicil) mobil pribadi hanya tahu bagaimana memenuhi jalanan dan membuat kemacetan yang super panjang.
Blam! Lagi-lagi dentuman. Tabrakan. Jalan-jalan perlu pelebaran jika tiap jam-nya saja menetas jutaan unit sepeda motor yang baru lolos produksi. Banyak. Kayak telor-telor kecoak. Dan sama dengan kecoak, tak apalah terlahir tanpa manfaat, yang penting menuh-menuhin dapur dan bikin bau kamar mandi. Atau dalam hal produksi motor ini, tak apalah tak lolos emisi juga… asal profit tetap mengada dan pajak terus dibayarkan lancar.
Orang-orang ini aneh dan tidak waras, semua mesin dengan mekanisme bahan bakar minyak tak pernah berhenti diproduksi, sedang bahan bakar minyak adalah benda konyol yang menggumpal di perut bumi, yang pasti tandas, tanpa bisa di daur ulang! Itu artinya akan ada saat dimana bahan bakar minyak yang super vital dalam moda transportasi ultra internasional ini habis! Kalau bahan bakar minyak yang demikian pentingnya sudah benar-benar sudah habis… buat apa semua kaleng-kaleng beroda itu? Yeah! Kita akan menunggang kuda lagi kawan, atau bermimpi saja kalau air seni kita bisa mengganti fungsi bahan bakar minyak.
***
Hari ini, teman baikku terbaring. Matanya menutup. Rapat bibirnya mengatup,. Ah, apa iya seperti itu saat ia ditemukan? Kecelakaan motor orang bilang. Katanya ia lalai mengendarai sepeda motornya. Sementara tangan kanannya berada di ulir gas, tangan kirinya sibuk dengan Blackberry-nya. Tempo hari yang lalu aku ingat bahwa pacarnya itu tidak suka jika sms atau Ping bbm-nya tidak segera berbalas.  Hary sangat takut kehilangan sang pacar. Konyol memang. Tapi aku harus bagaimana lagi? Pernah suatu kali si Hary diputuskan si pacar hanya karena ketiduran saat sedang berbalas BBM. Lalu paginya dikejutkan bahwa sang pacar sudah memutuskan hubungan pacarannya lewat BBM. Kontan saja si Hary kalang-kabut, kebat-kebit, dan ujung-ujungnya curhat panjang. Fiyuhh… kau tahulah bagaimana rasanya dengerin orang curhat….
Maka dengan sabar aku ulangi kata-kataku ini “Har, elu gak salah… udah deh elu itu konyol, kalo seandainya lu mau nurutin gue dari dulu. Cewek itu bukan prioritas!”
“Oke oke gue ngerti, gak bakal menang debat sama elu! Trus gue musti apa?” Hary Nampak pasrah. Perempuan memang suka membuat laki-laki lunglai dan salah tingkah. Harusnya mereka tak perlu begitu, kan?
“Sekarang bilang sama dia atau kalo mau tulis gini di twitter lo. Kalo ternyata pacaran sama cewek itu sesusah ini, mending gue jadi homo aja deh”,
“Jidat Lo Ton, udahlah pokoknya besok anterin gue nyari boneka-bonekaan trus nemuin dia di kelasnya”.
“Oke”, gairahku lungsur, memang beginilah resiko bersahabat dengan pelaku hidup sinetronis melodramatik.
***
Namaku Hartono, di usia tujuh belas ini aku tidak seperti teman-temanku yang hilir mudik dengan tunggangan yang sekaligus menjadi kebanggaannya. Dan waktu terus saja berlalu, sepeda motor sudah semakin banyak variannya, semakin banyak pula teman-temanku yang doyan kebut-kebutan, tak taat aturan lalu lintas…  lalu apa? berlusin-lusin  dari kebanyakan mereka mati. Percuma. Dan sialnya banyak dari teman-temanku yang notabene masih bau kencur itu memilikinya: di kreditkan bapak dari dealer katanya. Sampai disini aku merasa heran… aku melihat, mengredit motor tak ubahnya sedang menggadaikan nyawa manusia kepada renternir pasar sayuran; bunganya berlipat-lipat dan makin lama makin mencekik.
Begitulah… nyatanya memang banyak yang berubah di era millennium ini. Dan terakhir kali aku dengar adik kawanku yang berusia delapan tahun lebih muda dariku sudah berani menaiki sepeda motor.  Seperti yang kita rasakan bersama; waktu terus berlalu dan sialnya aku belum juga mengendarai motor, dan jadi bahan olok-olok teman-temanku. Dan jujur saja, untuk urusan yang satu ini alih-alih aku memilikinya, mengendarainya pun aku belum bisa. Takut. Fobia… barangkali.
Sepeda motor, bagiku terlihat seperti benda kecil imut yang berbahaya: little monster yang cute ada semacam jargon di tiap knalpotnya designed for kill. Ia, seperti bom cluster saat invasi Amerika Serikat ke Irak tempo lalu. Bom cluster tersebut diperbanyak dan di-desain semirip mungkin dengan bungkus cokelat atau mainan anak-anak, lalu dicecerkan begitu saja di jalanan dan tempat-tempat terbuka yang biasa dipakai bocah-bocah untuk bermain. Maka karuan saja anak-anak kecil itu mengira seang dapat hadiah kecil di tengah hari-hari suram mereka. Lalu… Blaam! dengan seketika tangan si bocah berpecah-pecah, beberapa jari bahkan menyaru diantara debu. Mendahuluinya ke Surga. Tragis.
Pernah suatu ketika  Hary kesal dengan fobia-ku pada motor.
“Ton, lu gak malu apa sama anak-anak cewek kita? Masa udah segede bagong begini belum juga bisa bawa motor… lu boleh bawa SatriaFU gue kok, lagian cewek itu lebih suka motor si cowok daripada buku-bukunya.”
“Terus? Wow… gitu?” hahaha… Lalu tawa mengakhiri segala bincang kita seperti biasa. Kalau sudah begitu aku hanya mendengus panjang. Asem memang… Mereka memang tak mengerti atau tak mau mengerti dengan ceritaku dahulu; saat  aku dan keluargaku masih tinggal di Pulau Lombok, dua belas tahun yang lalu. Dulu aku bertetangga dengan orang yang sangat baik dengan keluargaku. Si kepala keluarga adalah teman dekat bapakku, mereka sering ke masjid sama-sama bahkan seringkali terlibat obrolan panjang setelah bubar jamaah sholat. Sampai akhirnya datanglah kabar tersebut. Usiaku saat itu lima tahun setengah, menurutku itu usia yang belum layak mendengar bagaimana orang yang sering dekat dengan bapakku ini mati terlindas ban mobil truk. Ini terjadi saat ia sedang dalam perjalanan mudik. Aku diceritakan juga, konon ia sempat menjerit sepersekian detik sebelum tulang tengkoraknya berpapas dengan aspalan, lalu kombinasi karet dan baja seberat hampir puluhan ton melintas tepat di tulang kepalanya. Sedetail itu.
Miris. Ya, jika mati memang kehendak yang pasti terjadi. Dan jika motor menjadi wasilah, dan Tuhan merencanakan itu semua, lalu  aku akan bilang apa? Hanya saja aku merasa bahwa tak seharusnya kita menyerahkan seluruh napas kita ini dengan kecerobohan sendiri atau kecerobohan pengendara lain. Sebab katanya banyak orang suka mengendarai sambil mabuk atau mengantuk dan sialnya mereka membawa mobil-mobil besar. Lalu oleng dan membawa korban yang luar biasa banyaknya. Aku tersenyum kecut membayangkannya.
Dulu sekali, aku masih sangat ingat, bagaimana Koran-koran dan televisi menampilkan berita-berita musim mudik. Alkisah sekeluarga hendak pergi kunjung saudara di kampong halaman; menumpangi mobil kap terbuka. Lalu tewas ditindas mobil truk yang oleng. Singkat cerita: tragis. Dan bukannya tidak mungkin jika semua itu terjadi saat seluruh nyawaku bertumpu pada putaran ban dan kewarasan manusia lain yang seringkali tidak ada. Jujur saja, Ini gambling! Ini judi! Dan judi seringkali tidak fair. Okey, ini sudah sangat berlebihan.
Ada lagi yang… Ah… sudahlah….
***
Lalu fajar menyusut di cakrawala. Hari di mana tubuhku masih sulit memercayai soal sahabatku sendiri. Aku masih diselasar rumah sakit, di depan kamar mayat Almarhum Hary. Karibku sendiri.
Isak-isak mulai reda. Sementara matahari mulai berdiri. Sendiri. Hilir mudik beberapa pengantar atau sanak keluarga pasien mulai terasa. Suara-suara sepeda motor kembali bersahutan. Sepeda motor? Ya, aku sangat tahu eksistensinya.
Seandainya seorang Hary mewarisi sesuatu, maka hal itu adalah noktah hitam di rongga akal-ku. Entah apalagi, mungkin darah dari tengkorak kepalanya atau cairan oli dari si motor jepang tersebut, yang semalam sama remuknya. Layaknya ksatria jepang di abad 50-an tertatih, merintih-rintih pulang, bersamanya pesan buruk dari medan perang. Lalu disini-lah si motor itu, aku kutuki ia kerana membawa pergi seorang Hary, handai taulanku. Tidak adakah yang mau mengerti, bahwa semalam telah gegas membawa Hary… Haryadi Astaman.
Sebagai pergi yang pulang. Sebagai ada yang hilang.
purwakARTa. September. 2012
Untuk mereka… yang gugur di jalan-jalan. Selamat jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar