Cerpen oleh: Farid Ahmad
Killing Machine
Motor. Sejujurnya
aku tidak tahu pasti kenapa benda yang awalnya diciptakan mungkin karena
penasaran dan mungkin juga dikira bermanfaat ini sekonyong-konyong merubah laju
ekonomi dan mobilitas kehidupan urban; mungkin keinginan ini memang sudah
menjadi standar nilai-menilai bagi mereka yang merasa sudah maju dan lagi-lagi
merasa terpelajar. Maka sudah sangat masuk akal, semua budaya konsumtif yang
terintegrasi dengan kerakusan produksi telah menggenjot paradigma manusia-manusianya
menjadi tipikal manusia yang banyak mengeluh dan menuntut. Segalanya harus serba
cepat-lah, praktis-lah, dan macam-macam lagi. Maka tak heran, restoran Fast
Food yang lazimnya disebut Junk Food itu tumbuh beramai-ramai: seperti flu babi,
antraks, flu burung, yang lagi-lagi lahir karena semangat modernisasi, gengsi
dan kerakusan akan hal-hal yang berlabel import.
Lamat-lamat
produksi motor terasa kian gencar, menyasar konsumen di pelbagai strata dan
tataran masyarakat sosial di segala belahan dunia ini. Beringas! Setiap
produsen barang ini tak peduli bagaimanapun jadinya, tiap unit motor harus
terjual berunit-unit perharinya. Limbah produksi menumpuk sedemikian rupa,
dibuang ke laut jadi bencana, dibuang ke sungai apalagi… Akhirnya semua
dilakukan juga. Persetan dengan hati nurani. Persetan dengan kemanusiaan dan
masa depan anak cucu. Lebih baik begitu daripada harus menaikkan ongkos
produksi, sementara begitu gaji-gaji karyawan dituntut naik, pajak kian
melambung dan ego harus tetap dijaga: mati-matian kalau perlu.
Sementara
semua hal bodoh ini berlangsung, jalan-jalan-pun telah dibangun menembus
belukar hutan dan desa, dengan cepat dan aneh. Aneh, sebab kudapati makam
kakekku pun harus dikeduk, lalu
belulangnya dibenamkan ke tanah yang lain untuk yang kedua kalinya. Pembangunan
itu memang tampak tak perlu menghormati leluhur atau apapun itu. Begitulah yang
aku paham. Tapi ini semua sebenarnya
mengusik sanubariku. Sebab, setelah kampung kakek-ku tersebut menjadi bagian
dari ekspansi selera bermotor milik orang-orang yang doyan minum bensin itu. Tidak
serta merta bisa mengembalikan keramaian zikir-zikir maghrib di surau kami,
tidak juga menaikkan jumlah manusia-manusia penuh inisiatif dan berpendidikan
mapan. Sementara di jalan-jalan, semua orang-orang yang bermotor itu kerap kali
merasa sebagai si pemilik jalanan. Arwah kakekku pasti akan tak tenang, dan
dengan kekuatan magis-nya akan membuat petaka-petaka picisan di layar televisi,
entah apapun itu sebutannya.
Sedang di jalan-jalan,
ada hukum rimba yang mengintai. Di kota, sopir-sopir angkutan umum yang merasa
terusik jadi beringas dan belingsatan. Sementara para pemilik (atau penyicil) mobil
pribadi hanya tahu bagaimana memenuhi jalanan dan membuat kemacetan yang super
panjang.
Blam!
Lagi-lagi dentuman. Tabrakan. Jalan-jalan perlu pelebaran jika tiap jam-nya
saja menetas jutaan unit sepeda motor yang baru lolos produksi. Banyak. Kayak telor-telor
kecoak. Dan sama dengan kecoak, tak apalah terlahir tanpa manfaat, yang penting
menuh-menuhin dapur dan bikin bau kamar mandi. Atau dalam hal produksi motor
ini, tak apalah tak lolos emisi juga… asal profit tetap mengada dan pajak terus
dibayarkan lancar.
Orang-orang
ini aneh dan tidak waras, semua mesin dengan mekanisme bahan bakar minyak tak
pernah berhenti diproduksi, sedang bahan bakar minyak adalah benda konyol yang
menggumpal di perut bumi, yang pasti tandas, tanpa bisa di daur ulang! Itu
artinya akan ada saat dimana bahan bakar minyak yang super vital dalam moda
transportasi ultra internasional ini habis! Kalau bahan bakar minyak yang
demikian pentingnya sudah benar-benar sudah habis… buat apa semua kaleng-kaleng
beroda itu? Yeah! Kita akan menunggang kuda lagi kawan, atau bermimpi saja
kalau air seni kita bisa mengganti fungsi bahan bakar minyak.
***
Hari ini,
teman baikku terbaring. Matanya menutup. Rapat bibirnya mengatup,. Ah, apa iya
seperti itu saat ia ditemukan? Kecelakaan motor orang bilang. Katanya ia lalai
mengendarai sepeda motornya. Sementara tangan kanannya berada di ulir gas,
tangan kirinya sibuk dengan Blackberry-nya. Tempo hari yang lalu aku
ingat bahwa pacarnya itu tidak suka jika sms atau Ping bbm-nya
tidak segera berbalas. Hary sangat takut
kehilangan sang pacar. Konyol memang. Tapi aku harus bagaimana lagi? Pernah
suatu kali si Hary diputuskan si pacar hanya karena ketiduran saat sedang
berbalas BBM. Lalu paginya dikejutkan bahwa sang pacar sudah memutuskan
hubungan pacarannya lewat BBM. Kontan saja si Hary kalang-kabut, kebat-kebit,
dan ujung-ujungnya curhat panjang. Fiyuhh… kau tahulah bagaimana rasanya
dengerin orang curhat….
Maka
dengan sabar aku ulangi kata-kataku ini “Har, elu gak salah… udah deh elu itu
konyol, kalo seandainya lu mau nurutin gue dari dulu. Cewek itu bukan prioritas!”
“Oke oke
gue ngerti, gak bakal menang debat sama elu! Trus gue musti apa?” Hary Nampak
pasrah. Perempuan memang suka membuat laki-laki lunglai dan salah tingkah.
Harusnya mereka tak perlu begitu, kan?
“Sekarang
bilang sama dia atau kalo mau tulis gini di twitter lo. Kalo ternyata pacaran
sama cewek itu sesusah ini, mending gue jadi homo aja deh”,
“Jidat Lo
Ton, udahlah pokoknya besok anterin gue nyari boneka-bonekaan trus nemuin dia di
kelasnya”.
“Oke”, gairahku
lungsur, memang beginilah resiko bersahabat dengan pelaku hidup sinetronis
melodramatik.
***
Namaku
Hartono, di usia tujuh belas ini aku tidak seperti teman-temanku yang hilir
mudik dengan tunggangan yang sekaligus menjadi kebanggaannya. Dan waktu terus
saja berlalu, sepeda motor sudah semakin banyak variannya, semakin banyak pula
teman-temanku yang doyan kebut-kebutan, tak taat aturan lalu lintas… lalu apa? berlusin-lusin dari kebanyakan mereka mati. Percuma. Dan sialnya
banyak dari teman-temanku yang notabene masih bau kencur itu memilikinya: di
kreditkan bapak dari dealer katanya. Sampai disini aku merasa heran… aku
melihat, mengredit motor tak ubahnya sedang menggadaikan nyawa manusia kepada
renternir pasar sayuran; bunganya berlipat-lipat dan makin lama makin mencekik.
Begitulah…
nyatanya memang banyak yang berubah di era millennium ini. Dan terakhir kali
aku dengar adik kawanku yang berusia delapan tahun lebih muda dariku sudah
berani menaiki sepeda motor. Seperti yang
kita rasakan bersama; waktu terus berlalu dan sialnya aku belum juga
mengendarai motor, dan jadi bahan olok-olok teman-temanku. Dan jujur saja,
untuk urusan yang satu ini alih-alih aku memilikinya, mengendarainya pun aku
belum bisa. Takut. Fobia… barangkali.
Sepeda
motor, bagiku terlihat seperti benda kecil imut yang berbahaya: little
monster yang cute ada semacam jargon di tiap knalpotnya designed
for kill. Ia, seperti bom cluster saat invasi Amerika Serikat ke Irak tempo
lalu. Bom cluster tersebut diperbanyak dan di-desain semirip mungkin dengan
bungkus cokelat atau mainan anak-anak, lalu dicecerkan begitu saja di jalanan
dan tempat-tempat terbuka yang biasa dipakai bocah-bocah untuk bermain. Maka karuan
saja anak-anak kecil itu mengira seang dapat hadiah kecil di tengah hari-hari
suram mereka. Lalu… Blaam! dengan seketika tangan si bocah berpecah-pecah, beberapa
jari bahkan menyaru diantara debu. Mendahuluinya ke Surga. Tragis.
Pernah suatu
ketika Hary kesal dengan fobia-ku pada
motor.
“Ton, lu
gak malu apa sama anak-anak cewek kita? Masa udah segede bagong begini
belum juga bisa bawa motor… lu boleh bawa SatriaFU
gue kok, lagian cewek itu lebih suka motor si cowok daripada buku-bukunya.”
“Terus?
Wow… gitu?” hahaha… Lalu tawa mengakhiri segala bincang kita seperti biasa. Kalau
sudah begitu aku hanya mendengus panjang. Asem memang… Mereka memang tak
mengerti atau tak mau mengerti dengan ceritaku dahulu; saat aku dan keluargaku masih tinggal di Pulau
Lombok, dua belas tahun yang lalu. Dulu aku bertetangga dengan orang yang
sangat baik dengan keluargaku. Si kepala keluarga adalah teman dekat bapakku,
mereka sering ke masjid sama-sama bahkan seringkali terlibat obrolan panjang
setelah bubar jamaah sholat. Sampai akhirnya datanglah kabar tersebut. Usiaku saat
itu lima tahun setengah, menurutku itu usia yang belum layak mendengar
bagaimana orang yang sering dekat dengan bapakku ini mati terlindas ban mobil
truk. Ini terjadi saat ia sedang dalam perjalanan mudik. Aku diceritakan juga,
konon ia sempat menjerit sepersekian detik sebelum tulang tengkoraknya berpapas
dengan aspalan, lalu kombinasi karet dan baja seberat hampir puluhan ton melintas
tepat di tulang kepalanya. Sedetail itu.
Miris. Ya,
jika mati memang kehendak yang pasti terjadi. Dan jika motor menjadi wasilah,
dan Tuhan merencanakan itu semua, lalu
aku akan bilang apa? Hanya saja aku merasa bahwa tak seharusnya kita
menyerahkan seluruh napas kita ini dengan kecerobohan sendiri atau kecerobohan
pengendara lain. Sebab katanya banyak orang suka mengendarai sambil mabuk atau
mengantuk dan sialnya mereka membawa mobil-mobil besar. Lalu oleng dan membawa
korban yang luar biasa banyaknya. Aku tersenyum kecut membayangkannya.
Dulu
sekali, aku masih sangat ingat, bagaimana Koran-koran dan televisi menampilkan
berita-berita musim mudik. Alkisah sekeluarga hendak pergi kunjung saudara di
kampong halaman; menumpangi mobil kap terbuka. Lalu tewas ditindas mobil truk
yang oleng. Singkat cerita: tragis. Dan bukannya tidak mungkin jika semua itu
terjadi saat seluruh nyawaku bertumpu pada putaran ban dan kewarasan manusia
lain yang seringkali tidak ada. Jujur saja, Ini gambling! Ini judi! Dan judi seringkali tidak fair. Okey, ini sudah sangat berlebihan.
Ada lagi
yang… Ah… sudahlah….
***
Lalu fajar
menyusut di cakrawala. Hari di mana tubuhku masih sulit memercayai soal
sahabatku sendiri. Aku masih diselasar rumah sakit, di depan kamar mayat
Almarhum Hary. Karibku sendiri.
Isak-isak
mulai reda. Sementara matahari mulai berdiri. Sendiri. Hilir mudik beberapa pengantar
atau sanak keluarga pasien mulai terasa. Suara-suara sepeda motor kembali
bersahutan. Sepeda motor? Ya, aku sangat tahu eksistensinya.
Seandainya
seorang Hary mewarisi sesuatu, maka hal itu adalah noktah hitam di rongga akal-ku.
Entah apalagi, mungkin darah dari tengkorak kepalanya atau cairan oli dari si
motor jepang tersebut, yang semalam sama remuknya. Layaknya ksatria jepang di
abad 50-an tertatih, merintih-rintih pulang, bersamanya pesan buruk dari medan
perang. Lalu disini-lah si motor itu, aku kutuki ia kerana membawa pergi
seorang Hary, handai taulanku. Tidak adakah yang mau mengerti, bahwa semalam
telah gegas membawa Hary… Haryadi Astaman.
Sebagai pergi
yang pulang. Sebagai ada yang hilang.
purwakARTa.
September. 2012
Untuk
mereka… yang gugur di jalan-jalan. Selamat jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar