Sabtu, 23 November 2013

NASIONALISME MAT HITUT



NASIONALISME MAT HITUT
Mat Hitut memang manusia soleh yang bangsat, atau bangsat yang memang sholeh, ia mungkin saja terkena semacam penyakit psikis, kepribadian ganda, psikopat dan semacamnya. Dia memang tidak mengintimadasi dengan pisau seperti pembunuh penasaran tidak pula meneror dengan sms bom seperti teroris. Dia lebih dari itu, dia mengembargo pemikiran tajamku, sudut pandang budaya sundaku, semangat nasionalismeku, dan keteguhan iman islamku.
Cuih! Aku memang sudah meludah dengan ikhlas ketika kaki kami melintas tepat di depan Gereja Nubuwwah Baru di dekat Gasibu Bandung. Et et et… Dia menghentikan langkah kami yang sebelumnya begitu rapih dan selaras seperti actor-aktor di video klip musik. “Apa maksud sampean meludah-ludah macam itu?” tanyanya tak suka. Aku tentunya langsung senang ditanyai begitu, karena selama ini dia harus tahu bahwa selama ini aku adalah manusia idealis yang beriman.
“Ini kan gereja, kita harus membenci mereka-mereka yang di luar ruang ukhuwah islamiyah dan persaudaraan sesama orang beriman.”
“Asyhadu an laa ilaaha illa yesus…”
“Astaghfiruloh, Tut! Sia mah boloho! Murtad siah! Balikan syahadat deui!”
“Loh yang barusan itu bukan syahadat ya?”
“BOLOHO!”
“Ey... Rid, Kanjeng Nabi Muhammad, Utusan Allah Swt. bilang Allohummaghfir qoumi fainnahum la ya’lamun ketika hampir seluruh badannya habis dijarah batu-batu, sementara jiwanya terberai-berai dihinadinakan anak-anak dari penduduk Thaif. Menurut akal sehatmu saat itu kurang kafir apalagi orang-orang Thaif hari itu?” Saya melongo.
“Bagaimanapun juga, ukhuwah islamiyah adalah sikap merangkul tanpa batas, sikap mencintai yang bebas. Kamu tahu hari ini kita bukan lagi butuh jihad yang mirip dengan Futuh Makkah, dengan menghancurkan berhala-berhaka batu itu.”
“Maksudmu? Kita harus biarkan si Dedi Mulyadi mbangun patung-patung berhala di kota yang mayoritasnya muslim itu?”
“Ya entahlah Bung… Berhala hari ini kamu tahu, sudah bukan batu lagi, dia sudah menjadi hal yang hebat; ghoib namun nyata, besar namun tak terduga, banyak namun tak terhitung. Ia sudah menjelmakan: dajjaliyah moneter, nasionalisme fasis, fanatisme anarkis, ananiyyah berjamaah, dan ashabiyah destruktif. Seolah-olah kita ini bukan lagi Kholifah Alloh di seluruh muka bumi lagi. Kita ini sudah menjadi robot politik, mesin industri, babu moneter, dan produk kerajinan kampung halaman.”
“Bentar… bentar… Loh kamu kok enak sekali menyejajarkan nasionalisme dengan fasisme?” tanyaku tak terima.
“Kamu tahu, ludahmu barusan di depan gereja itu ludah orang macam Firaun modern: ludah pembunuh, ludah orang yang egois dan jauh dari Allah…”
“Terus mau kamu itu gimana toh Tut?” tanyaku kesal sekali. “Aku mau Shalat Isya dulu Rid…”
***
Sejatinya memang sudah sedihlah kita melihat kondisi Indonesia yang babak belur jiwa raganya, entah karena eksplorasi SDM yang zalim, atau tingkah laku DPR kita melulu rajin bolos dinas, ngantuk saat  rapat, juga mubadzir dan selalu menjadi news maker yang buruk.
Tetapi memanglah bangsa kita adalah bangsa yang besar dan kuat. Korupsi hampir menggulung layar kebernegaraan kita, intoleransi melubangi lambung kapal Ke-NKRI-an kita, fanatisme memutus  jangkar pancasila kita. Tapi kita tetaplah bahtera yang besar, sebab di dalamnya Nuh As. memang sedang bersama kita. Di sekolah-sekolah pendidikan karakter diperhatikan, di desa-desa koperasi yang sehat berupaya membangun ekonomi rakyat, di pesantren-pesantren orang-orang soleh yang sahaja dan qanaah terus dicetak, semsntara di kampus-kampus anak-anak muda kita kian dididik untuk lebih berdayaguna.
Kita yang juga mahasiswa sebaiknya memang merasa bahwa bangsa kita ini masih berdiri tegak sebagai bangsa yang menunggu orang terburuknya muruluk. Bukankah begitu? Mat Hitut mengangguk-angguk. Mungkin sedang wiridan.
Lalu dia bilang… “Bicara soal kamu yang mahasiswa ini, cepat-cepatlah habiskan itu sks-sks kuliah, dan ndak usahlah berangan-angan untuk ikut-ikut masuk tifi talk show yang gak penting itu. Jleder! “Sial!” Umpat saya dalam hati, lalu saya dan Mat Hitut memutar arah, singgah ke Masjid dekat Gereja tersebut dan Shalat Isya dengan asyik. Urusan khusyu? Seperti kata Mat Hitut, itu bisa diatur belakangan. Kata Mat Hitut pula, yang penting jangan ngidu sembarangan.
Ahmad Farid
Mahasiswa jurusan USHULUDDIN di STAI Al-Muhajirin Purwakarta 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar