NASIONALISME MAT HITUT
Mat Hitut memang manusia soleh yang
bangsat, atau bangsat yang memang sholeh, ia mungkin saja terkena semacam
penyakit psikis, kepribadian ganda, psikopat dan semacamnya. Dia memang tidak
mengintimadasi dengan pisau seperti pembunuh penasaran tidak pula meneror
dengan sms bom seperti teroris. Dia lebih dari itu, dia mengembargo pemikiran
tajamku, sudut pandang budaya sundaku, semangat nasionalismeku, dan keteguhan
iman islamku.
Cuih! Aku memang sudah meludah dengan
ikhlas ketika kaki kami melintas tepat di depan Gereja Nubuwwah Baru di dekat
Gasibu Bandung. Et et et… Dia menghentikan langkah kami yang sebelumnya begitu
rapih dan selaras seperti actor-aktor di video klip musik. “Apa maksud sampean
meludah-ludah macam itu?” tanyanya tak suka. Aku tentunya langsung senang
ditanyai begitu, karena selama ini dia harus tahu bahwa selama ini aku adalah
manusia idealis yang beriman.
“Ini kan gereja, kita harus membenci
mereka-mereka yang di luar ruang ukhuwah islamiyah dan persaudaraan sesama orang
beriman.”
“Asyhadu an laa ilaaha illa yesus…”
“Astaghfiruloh, Tut! Sia mah boloho!
Murtad siah! Balikan syahadat deui!”
“Loh yang barusan itu bukan syahadat
ya?”
“BOLOHO!”
“Ey... Rid, Kanjeng Nabi Muhammad,
Utusan Allah Swt. bilang Allohummaghfir qoumi fainnahum la ya’lamun ketika
hampir seluruh badannya habis dijarah batu-batu, sementara jiwanya
terberai-berai dihinadinakan anak-anak dari penduduk Thaif. Menurut akal
sehatmu saat itu kurang kafir apalagi orang-orang Thaif hari itu?” Saya melongo.
“Bagaimanapun juga, ukhuwah
islamiyah adalah sikap merangkul tanpa batas, sikap mencintai yang bebas. Kamu
tahu hari ini kita bukan lagi butuh jihad yang mirip dengan Futuh Makkah,
dengan menghancurkan berhala-berhaka batu itu.”
“Maksudmu? Kita harus biarkan si
Dedi Mulyadi mbangun patung-patung berhala di kota yang mayoritasnya muslim itu?”
“Ya entahlah Bung… Berhala hari ini
kamu tahu, sudah bukan batu lagi, dia sudah menjadi hal yang hebat; ghoib namun
nyata, besar namun tak terduga, banyak namun tak terhitung. Ia sudah
menjelmakan: dajjaliyah moneter, nasionalisme fasis, fanatisme anarkis,
ananiyyah berjamaah, dan ashabiyah destruktif. Seolah-olah kita ini bukan lagi
Kholifah Alloh di seluruh muka bumi lagi. Kita ini sudah menjadi robot politik,
mesin industri, babu moneter, dan produk kerajinan kampung halaman.”
“Bentar… bentar… Loh kamu kok enak
sekali menyejajarkan nasionalisme dengan fasisme?” tanyaku tak terima.
“Kamu tahu, ludahmu barusan di depan
gereja itu ludah orang macam Firaun modern: ludah pembunuh, ludah orang yang
egois dan jauh dari Allah…”
“Terus mau kamu itu gimana toh Tut?”
tanyaku kesal sekali. “Aku mau Shalat Isya dulu Rid…”
***
Sejatinya memang sudah sedihlah kita
melihat kondisi Indonesia yang babak belur jiwa raganya, entah karena eksplorasi
SDM yang zalim, atau tingkah laku DPR kita melulu rajin bolos dinas, ngantuk
saat rapat, juga mubadzir dan selalu
menjadi news maker yang buruk.
Tetapi memanglah bangsa kita adalah
bangsa yang besar dan kuat. Korupsi hampir menggulung layar kebernegaraan kita,
intoleransi melubangi lambung kapal Ke-NKRI-an kita, fanatisme memutus jangkar pancasila kita. Tapi kita tetaplah
bahtera yang besar, sebab di dalamnya Nuh As. memang sedang bersama kita. Di
sekolah-sekolah pendidikan karakter diperhatikan, di desa-desa koperasi yang
sehat berupaya membangun ekonomi rakyat, di pesantren-pesantren orang-orang
soleh yang sahaja dan qanaah terus dicetak, semsntara di kampus-kampus
anak-anak muda kita kian dididik untuk lebih berdayaguna.
Kita yang juga mahasiswa sebaiknya
memang merasa bahwa bangsa kita ini masih berdiri tegak sebagai bangsa yang
menunggu orang terburuknya muruluk. Bukankah begitu? Mat Hitut
mengangguk-angguk. Mungkin sedang wiridan.
Lalu dia bilang… “Bicara soal kamu
yang mahasiswa ini, cepat-cepatlah habiskan itu sks-sks kuliah, dan ndak usahlah
berangan-angan untuk ikut-ikut masuk tifi talk show yang gak penting
itu. Jleder! “Sial!” Umpat saya dalam hati, lalu saya dan Mat Hitut memutar
arah, singgah ke Masjid dekat Gereja tersebut dan Shalat Isya dengan asyik. Urusan
khusyu? Seperti kata Mat Hitut, itu bisa diatur belakangan. Kata Mat Hitut
pula, yang penting jangan ngidu sembarangan.
Ahmad Farid
Mahasiswa jurusan USHULUDDIN di STAI Al-Muhajirin Purwakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar