Ahmad Farid
Lahir
Dear… Adrian Juan
Radensyah, teman baikku yang penuh semangat, bagaimana Aceh kita setelah dua
belas tahun berlalu? Entah Aceh mana yang berhasil menyarangkan pelurunya di
batok kepalamu. Tapi yang aku ingat kamu begitu gairah hari itu untuk menahanku
tetap di kampong, turut serta dengan paman Amman bergerilya di bukit-bukit dan
gunung-gunung. Tapi kamu tahu, saat itu kita masih berusia sembilan tahun. Kamu
begitu keras kepala ingin turut berjuang. Katamu membela agama. Membela tanah
air! Ah… lugunya kamu waktu itu. Tapi adakah yang lebih baik dari kedunguan
saat itu? Misalnya memelihara cita-cita dengan turut berpindah ke Jakarta, kota
yang katamu penuh dengan gemerlap dunia yang membutakan.
Hari ini hari
lahir kita, Adrian. Aku tahu, kita memang tak biasa mengistimewakan kelahiran
siapapun kecuali kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW. Tapi kamu harus tahu
Adrian, di hari ini, di tempat yang berjarak bermil-mil dari kampung halaman
kita, kita sedang mengalami kembali hari, tanggal dan bulan yang sama dengan
masa kelahiran kita di dua puluh satu tahun yang lalu dari usia kita.
Dan di sini,
juga hari ini orang-orang memanggilku dengan begitu hangat, mereka mengucapkan
selamat, menyalamiku, minta traktiran, bahkan mereka memberiku kado, mirip
seperti di sinetron-sinetron yang sering kita tonton di balai desa dulu. Dan
kau tahu Rian… pacarku-pun turut memberiku kado, sepasang kaos tim bola
kesayangan kita dulu, Manchester United! di sini kaos bola yang aku dapatkan itu
disebut jersey original. Kau tahu apa itu artinya kawan? Itu kaos aseli dari
inggris! Dan kamu harus bertemu dengannya, Rian! Dia cantik, mirip seperti
Zahra, anak tetangga kita yang pernah membuat kita saling aku-mengaku sebagai
pacarnya, sampai kita beradu tinju di pinggir sungai, diiringi dengan sorak
sorai teman-teman kita.
Ah, seru
sekali waktu itu. Kamu yang terkenal jago bicara akhirnya harus menangis sambil
berjalan pulang, karena kepalamu terbentur rerumpun bambu. Lalu aku kalang
kabut, dan langsung pulang ke rumah. Diam seribu bahasa. Aku takut omaku marah
karena kamu menangis. Tapi anehnya hari itu Oma tak kunjung menyinggung soal
pertengkaran. Sebab kau bilang, kau yang salah. Kamu memang jago bicara, dan
kuat jiwa.
Oh ya… soal kopi
aceh bkinin bibi mu yang super enak itu, yang juga kau pikir Cuma ada di
Meulaboh itu, sekarang nyasar juga dia rupanya ke kafe-kafe yang berserakan
berantakan di daerah Kemang, Pasar senen dan daerah lainnya. Kini dan dahulu
adalah jaman, dan semuanya sudah saling ganti berganti, Adrian. Dunia, seperti
yang kau bilang di lima tahun yang lalu di akhir suratmu, memang terus bergerak,
sementara itu jiwa-jiwa saling ganti mengganti mengisinya.
Oh Adrian,
cobalah kamu lihat gadis yang sedang duduk di seberang bangku ini, di sana, di
dekat jendela. Jika kau ada kita mungkin akan mulai beradu terka, apa
pekerjaannya, status hubungannya, namanya bahkan mungkin akan menerka warna
pakaian dalamnya. Ah, toh kita bukan lagi kanak-kanak. Tapi mungkin saja kau akan
beristighfar melihat gaya berpakainnya: pahanya, ketiaknya, rambutnya,
tengkuknya. Kamu benar-benar beristghfar berkali-kali, tapi sambil sesekali
penasaran dengan warna kaus dalamnya yang sempat keterawang lewat bajunya yang
sedikit transparant. Tapi bagaimanapun kamu melihatnya, kamu tetaplah Adrian,
sahabatku. Kamu butuh perempuan untuk sekedar mengerti betapa manisnya hidup
ini dengan kehadirannya.
Adrian. Ini
bukan surat, kalau aku percaya bahwa kau akan datang, minum kopi dan turut
merokok di depanku. Dalam dimensi yang tak perlu lagi ada pembahasan ruang dan
waktu bahkan dalam kosmologi ilutif sekalipun. Dan aku tak akan peduli pada
kosmolog tentang itu. Kita akan bicarakan banyak hal, mungkin tentang agama,
masyarakat, atau malah-malah kita akan menjebakkan diri dalam lorong-lorong
pembicaraan tentang panggung politik.
Tak peduli
apapun, aku akan melihat kamu, membaca kolom-kolomku di harian lokal kita
dengan dahi mengkerut lalu beberapa kali aku akan melihat tarikan-tarikan kecil
disekitar pipi dan dahimu, mengencang dan mengulur. Ada beberapa bagian yang
kamu sepakati, lalu bagian lain yang kamu tolak mentah-mentah. Kamu-pun akan
menentang beberapa bagian yang tak kamu sukai, kita akan beradu argument, aku
akan mendaparti kamu begitu serius, berargumen ketus layaknya pengamat politik
Internasional. Atau mungkin, kau akan memberikan komentar-komentar yang natinya
oleh penerbit di cantumkan di sampul belakang pada buku-bukuku dengan tagline
namamu: Adrian Juan Radensyah M.Sos
–Pakar dan Pengamat Politik Aceh.
Aku masih
ingat bagaimana kamu mengatakan mimpi yang kamu unduh dari pembicaraan
tetua-tetua di desa kita. Negara islam yang menyeluruh, seperti jaman Nabi
Muhammad Saw. yang menurutku sudah seperti ilusi jika di jaman seperti ini.
Adrian, semoga
Tuhan (siapapun atau apapun itu, menjagamu) dan membuat jihadmu sebagai suatu
hal yang tak sia-sia untuk melawan ketidak-adilan siapapun, yang seringkali
kamu alamatkan pada Amerika Serikat. Duh Adrian, seandainya kamu tahu, kamu
hampir mirip tokoh-tokoh anatgonis dalam film-film Amerika yang heroik itu.
Dimana kamu
Adrian? Ada di surga seperti yang injil-ku katakan atau sedang di alam barzakh
yang sering dibilang tetua-tetua di desa kita dulu? Aku tak peduli, semoga
siapapun dan apapun yang kamu hadapi sekarang tidak akan lebih jahat dari
sebutir puluru yang berumah di tengkorak kepalamu.
Hei, ini kado
ultahmu. Atau ultah kita. Semacam bukuku yang akan mengejekmu tentang dunia
yang habis cerita, karena perang selalu membuat segala ceritanya seragam. Tapi,
ah, lihatlah debu-debu yang menyebrang di pandang mata kita, berbondong-bondong
naik ke atas, seakan-akan menyambut panggilan cahaya. Tapi kamu entah di mana.
Tak apa
kalaupun kamu memang tak akan datang kemari. Dan mari saja kita lupakan soal
hikayat debu-debu, proton, atau elektron ini, atau tentang hal lain yang lebih
berat; misalnya keragu-raguan Einstein soal teori-teori ilutif tentang
seseorang yang mungkin dapat menembus ruang dan waktu. Entah karena hebat atau iseng.
Oh ya, semoga
surat ini sampai ke akhiratmu karena akhirnya aku tahu ini adalah surat abadi
yang akan aku bakar dalam asbakku: api suci yang akan membakarnya. lalu
angin-angin ini akan melarungnya menujumu. Begitu kan cara mengirim surat ke
tempatmu?
Purwakarta, Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar