Sabtu, 23 November 2013

LAHIR



Ahmad Farid
Lahir
Dear… Adrian Juan Radensyah, teman baikku yang penuh semangat, bagaimana Aceh kita setelah dua belas tahun berlalu? Entah Aceh mana yang berhasil menyarangkan pelurunya di batok kepalamu. Tapi yang aku ingat kamu begitu gairah hari itu untuk menahanku tetap di kampong, turut serta dengan paman Amman bergerilya di bukit-bukit dan gunung-gunung. Tapi kamu tahu, saat itu kita masih berusia sembilan tahun. Kamu begitu keras kepala ingin turut berjuang. Katamu membela agama. Membela tanah air! Ah… lugunya kamu waktu itu. Tapi adakah yang lebih baik dari kedunguan saat itu? Misalnya memelihara cita-cita dengan turut berpindah ke Jakarta, kota yang katamu penuh dengan gemerlap dunia yang membutakan.
Hari ini hari lahir kita, Adrian. Aku tahu, kita memang tak biasa mengistimewakan kelahiran siapapun kecuali kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW. Tapi kamu harus tahu Adrian, di hari ini, di tempat yang berjarak bermil-mil dari kampung halaman kita, kita sedang mengalami kembali hari, tanggal dan bulan yang sama dengan masa kelahiran kita di dua puluh satu tahun yang lalu dari usia kita.
Dan di sini, juga hari ini orang-orang memanggilku dengan begitu hangat, mereka mengucapkan selamat, menyalamiku, minta traktiran, bahkan mereka memberiku kado, mirip seperti di sinetron-sinetron yang sering kita tonton di balai desa dulu. Dan kau tahu Rian… pacarku-pun turut memberiku kado, sepasang kaos tim bola kesayangan kita dulu, Manchester United! di sini kaos bola yang aku dapatkan itu disebut jersey original. Kau tahu apa itu artinya kawan? Itu kaos aseli dari inggris! Dan kamu harus bertemu dengannya, Rian! Dia cantik, mirip seperti Zahra, anak tetangga kita yang pernah membuat kita saling aku-mengaku sebagai pacarnya, sampai kita beradu tinju di pinggir sungai, diiringi dengan sorak sorai teman-teman kita.
Ah, seru sekali waktu itu. Kamu yang terkenal jago bicara akhirnya harus menangis sambil berjalan pulang, karena kepalamu terbentur rerumpun bambu. Lalu aku kalang kabut, dan langsung pulang ke rumah. Diam seribu bahasa. Aku takut omaku marah karena kamu menangis. Tapi anehnya hari itu Oma tak kunjung menyinggung soal pertengkaran. Sebab kau bilang, kau yang salah. Kamu memang jago bicara, dan kuat jiwa.
Oh ya… soal kopi aceh bkinin bibi mu yang super enak itu, yang juga kau pikir Cuma ada di Meulaboh itu, sekarang nyasar juga dia rupanya ke kafe-kafe yang berserakan berantakan di daerah Kemang, Pasar senen dan daerah lainnya. Kini dan dahulu adalah jaman, dan semuanya sudah saling ganti berganti, Adrian. Dunia, seperti yang kau bilang di lima tahun yang lalu di akhir suratmu, memang terus bergerak, sementara itu jiwa-jiwa saling ganti mengganti mengisinya.
Oh Adrian, cobalah kamu lihat gadis yang sedang duduk di seberang bangku ini, di sana, di dekat jendela. Jika kau ada kita mungkin akan mulai beradu terka, apa pekerjaannya, status hubungannya, namanya bahkan mungkin akan menerka warna pakaian dalamnya. Ah, toh kita bukan lagi kanak-kanak. Tapi mungkin saja kau akan beristighfar melihat gaya berpakainnya: pahanya, ketiaknya, rambutnya, tengkuknya. Kamu benar-benar beristghfar berkali-kali, tapi sambil sesekali penasaran dengan warna kaus dalamnya yang sempat keterawang lewat bajunya yang sedikit transparant. Tapi bagaimanapun kamu melihatnya, kamu tetaplah Adrian, sahabatku. Kamu butuh perempuan untuk sekedar mengerti betapa manisnya hidup ini dengan kehadirannya.
Adrian. Ini bukan surat, kalau aku percaya bahwa kau akan datang, minum kopi dan turut merokok di depanku. Dalam dimensi yang tak perlu lagi ada pembahasan ruang dan waktu bahkan dalam kosmologi ilutif sekalipun. Dan aku tak akan peduli pada kosmolog tentang itu. Kita akan bicarakan banyak hal, mungkin tentang agama, masyarakat, atau malah-malah kita akan menjebakkan diri dalam lorong-lorong pembicaraan tentang panggung politik.  
Tak peduli apapun, aku akan melihat kamu, membaca kolom-kolomku di harian lokal kita dengan dahi mengkerut lalu beberapa kali aku akan melihat tarikan-tarikan kecil disekitar pipi dan dahimu, mengencang dan mengulur. Ada beberapa bagian yang kamu sepakati, lalu bagian lain yang kamu tolak mentah-mentah. Kamu-pun akan menentang beberapa bagian yang tak kamu sukai, kita akan beradu argument, aku akan mendaparti kamu begitu serius, berargumen ketus layaknya pengamat politik Internasional. Atau mungkin, kau akan memberikan komentar-komentar yang natinya oleh penerbit di cantumkan di sampul belakang pada buku-bukuku dengan tagline namamu:  Adrian Juan Radensyah M.Sos –Pakar dan Pengamat Politik Aceh.
Aku masih ingat bagaimana kamu mengatakan mimpi yang kamu unduh dari pembicaraan tetua-tetua di desa kita. Negara islam yang menyeluruh, seperti jaman Nabi Muhammad Saw. yang menurutku sudah seperti ilusi jika di jaman seperti ini.
Adrian, semoga Tuhan (siapapun atau apapun itu, menjagamu) dan membuat jihadmu sebagai suatu hal yang tak sia-sia untuk melawan ketidak-adilan siapapun, yang seringkali kamu alamatkan pada Amerika Serikat. Duh Adrian, seandainya kamu tahu, kamu hampir mirip tokoh-tokoh anatgonis dalam film-film Amerika yang heroik itu.
Dimana kamu Adrian? Ada di surga seperti yang injil-ku katakan atau sedang di alam barzakh yang sering dibilang tetua-tetua di desa kita dulu? Aku tak peduli, semoga siapapun dan apapun yang kamu hadapi sekarang tidak akan lebih jahat dari sebutir puluru yang berumah di tengkorak kepalamu.
Hei, ini kado ultahmu. Atau ultah kita. Semacam bukuku yang akan mengejekmu tentang dunia yang habis cerita, karena perang selalu membuat segala ceritanya seragam. Tapi, ah, lihatlah debu-debu yang menyebrang di pandang mata kita, berbondong-bondong naik ke atas, seakan-akan menyambut panggilan cahaya. Tapi kamu entah di mana.
Tak apa kalaupun kamu memang tak akan datang kemari. Dan mari saja kita lupakan soal hikayat debu-debu, proton, atau elektron ini, atau tentang hal lain yang lebih berat; misalnya keragu-raguan Einstein soal teori-teori ilutif tentang seseorang yang mungkin dapat menembus ruang dan waktu. Entah karena hebat atau iseng.
Oh ya, semoga surat ini sampai ke akhiratmu karena akhirnya aku tahu ini adalah surat abadi yang akan aku bakar dalam asbakku: api suci yang akan membakarnya. lalu angin-angin ini akan melarungnya menujumu. Begitu kan cara mengirim surat ke tempatmu?
Purwakarta, Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar