Sabtu, 23 November 2013

REFLEKSI GALAU MENULIS ESAI KEPAHLAWANAN



REFLEKSI GALAU MENULIS ESAI KEPAHLAWANAN

…tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.
[Impian dari Yogyakarta, hlm. 38]”
― Y.B. Mangunwijaya

“Bro, saya mau tugasi kamu tulis esai,” ujar teman yang kebetulan adalah presiden BEM STAI Al-Muhajirin Purwakarta. Saya langsung diam dan berpikir sangat lama. Kamu tahulah, saya ini memang agak lola. Sehingga begitu memikirkan kata “Pahlawan” saja, ingatan saya malah meloncat-loncat di koran-koran bekas, dimana saya malah ketemu sekumpulan orang-orang yang sedang gigih mendaftarkan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.

Oh ya! Tiba-tiba saya tersadar... “coba kau sebutkan satu kata saja tentang pahlawan,” pinta saya. Saya pikir dia akan terdiam cukup lama seperti saya. Ternyata dengan cepat dia berseru “terkenal!” Entah apakah Susilo Bambang Yudhoyono, Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Dewi Perssik dan Julia Perez yang juga “terkenal” itu bisa ditahbiskan menjadi pahlawan nasional atau tidak, barangkali akan ada orang-orang konyol yang melakukan itu. Sebelum semua itu terjadi mari berdoa agar Indonesia tidak terlibas kiamat duluan.

Sebagai komparasi, saya tanyakan pula hal yang sama pada teman yang lain. Dia bilang “Eli…” maksudnya? “Waktu SMA dia bikin puisi tentang pahlawan, puisinya bagus sekali”. “O.”

Saya tiba-tiba teringat kembali tentang begadang saya yang sia-sia kemarin. Saya nonton “The Green Lanterns” sebuah film super hero ala Hollywood. Seperti biasa tak ada yang menarik dari film-film sejenis ini. Semua  soal special effect, kejar-mengejar gak karuan, tembak-menembak, swim suit, aktor ganteng, perempuan cantik nan sintal, demokrasi, dan warna-warna Amerika lainnya yang entah kenapa selalu mendominasi di tiap scene-nya. Membuat kita seolah-olah harus berfikir kalau Gatot Kaca tak mungkin tahu banyak soal bom nuklir. Seakan-akan pula sebuah becak motor tak mungkin menjadi robot gagah nan perkasa layaknya Sang Optimus Prime dalam serial Transformers.

Okelah! Meski semua ulasan ini agak aneh, tapi memang lebih baik begitu daripada harus mengulas (lagi?) kepahlawanan seperti yang dilakukan oleh banyak orang –mengutip kata-kata Bung Karno, orasi Bung Tomo, peristiwa 10 November, dan hal-hal lainnya yang ternyata semua itu sudah menjadi pelajaran sejarah yang wajib di sekolah dasar.

Kemudian saya berpikir lagi, apa yang akan ditulis di esai saya nanti? Tiba-tiba saya teringat status facebook teman-teman yang selalu mengatakan hal yang sama ketika sebuah momen datang berulang-ulang. Misalnya menulis “HBD WYATB” kepada setiap yang ulang tahun. Tidak kreatif dan terkesan memaksakan diri. Alhasil “selamat hari pahlawan”pun ternyata berhasil memenuhi beranda akun facebook kita. Entah karena ulah alien atau tangan kita yang kesurupan alien seperti Sam Witwicky di Transformers 2.

Dalam keadaan yang demikian menggalaukan, tetiba saya merasa mendapat wangsit untuk meresapi apa makna sesungguhnya dari kepahlawan, pahlawan, dan hari pahlawan itu? Beberapa jam kemudian saya merasa perlu menulis sajak, seperti saya yang kadang-kadang merasa perlu membuang hajat.


NOVEMBER SEBAGAI BAMBU

Mengenangmu, aku bambu
Paling gemuruh dalam takbirmu
Paling kibar pada benderamu
Paling runcing di leher musuhmu
Paling syahid dengan gugurmu

Dalam sajak tersebut saya mendapati diri saya berada dalam foto-foto jadul di buku-buku sejarah. Saya adalah salah satu pemuda dengan potongan rambut klimis, berkemeja putih, bercelana pendek  putih dan bersabuk. Lalu tak lupa saya mengikat kepala dengan kain merah. Berlari-lari membawa sebilah bambu yang runcing dibagian atasnya, lalu agak bergeser kebawah sedikit saya ikatkan disana sang saka merah putih. Sebuah ketapel menyembul dari pinggang.

Saya berlarian dengan teman-teman sebaya yang lainnya. Bunyi peluru, bau mesiu, dan teriakan-teriakan membungbung di tanah kami Indonesia tercinta. Saya adalah kuda-kuda perang dalam surat al-adiyat, saya adalah Hamzah dalam film the massanger. Sebab sudah sejak lama saya hanyut dalam pidato Bung Karno. Lalu di hari besar ini saya membara dibakar orasi Bung Tomo.

Saya bertakbir habis-habisan, saya menahan gemetar di hampir seluruh persendian. Kami menyusup dari satu gang-ke gang lainnya. Tiba-tiba sesosok setan yang malang mencegat kami. Sebuah bayonet runcing di depan hidung saya menantang, dengan kecepatan super saya bertakbir dan menghantam sosok besar di depan saya. Sesosok manusia rebah dengan ujung runcing bambu saya bersarang di lehernya. Saya terpekur lama, bahkan cukup lama untuk menyadari bahwa sebuah peluru besi panas yang penasaran sedang menukik tajam untuk membuat sarang berdarah di jidat saya.

Menegangkan. Tapi kenyataannya saya sedang tidak berada di Surabaya pada 10 November 1945 yang lalu. Berdarah-darah arek-rek Suroboyo mengangkat senajata, tapi penjajahan rupanya belum habis!

Ternyata penjajahan-penjajahan sudah bermetamorfosis. Ia datang dalam bentuk yang lebih cantik, rapih, harum, besar, dan tak kalah jahatnya.

Ia dipanggil dengan banyak sebutan: teknologi informasi, media sosial, korupsi, hipokrisi, fanatisme ideologi, intoleransi beragama, anarkisme, pornografi yang maklum, kesenian yang tumpul, pemerintahan yang tidak efektif, politik pencitraan, korupsi sistematis, kolusi terlembaga, dan nepotisme yang membudaya.

Yang lain menyebut penjajah-penjajah ini dengan nama-nama yang tak kalah seramnya: kebodohan, kemalasan, etos kerja ngaretisme, kecanduan industri hiburan, buta huruf, kemiskinan spiritual, kesenjangan sosial, rasisme, dan kufur nikmat (yang belakangan ini dinamakan ‘taraf kesejahteraan sosial’).

Penjajah-penjajah ini lebih terlatih dan efektif. Mereka berjamaah mengintai untuk selanjutnya diam-diam menenggelamkan bahtera kebernegaraan kita: mengoyak layar kerukunan kita, merongrong pokokpokok spiritualitas kita, dan selajutnya membiarkan kita tenggelam dalam samudera krisis multidimensi dan keputus-asa-an yang panjang.

Butuh banyak pejuang yang lebih dari sekedar mengundang majlis The Avengers atau jamaah Justice League (yang kebanyakan suka pakai celana dalam di luar pakaian). Kita butuh umat mahasiswa, kaum santri, anak-anak sekolahan, gerombolan perangkat pemerintahan, dan segala macam lapisan masyarakat yang dapat melihat penjajah-penjajah ini sebagai binatang buruan yang berbahaya.

Sementara kita adalah pemburu mahir yang ma(mp)u bersabar, gigih, dan berlatih untuk membidik leher buruan dari retina anak panah kita. Sebelum binatang buruan berbalik menerkam kita sendiri. Bulat-bulat pula!

Nah! Buat kakak-kakak angkatan kita yang ra(n)jin(g) berorganisasi sampai skripsinya suka molor, mari kita titipkan pesan “Eta skripsi antoskeun heula…”

***


Wow! Sekarang kamu superhero men! Ujar kawan si Green Lantern takjub. “Yeah!” Tukas si Green Lantern bersemangat. Bergoyang-goyang bola matanya, terkagum sendiri dengan kostum hijau-nyala yang lengket di tubuh lelakinya. Sejenak si temannya tersebut berkerut jidatnya “Bukankah superhero selalu punya pacar?” (Pffft! Saya pengen muntah pesawat!)

Sampai di titik akhir ini saya masih belum yakin dapat melaksanakan tugas “menulis esai kepahlawanan” dari presiden saya tersebut. Saya merasa galau dan perlu meng-update status.



Farid Es. Nyantri di STAI Al-Muhajirin Purwakarta. Duduk di bus Ushuluddin, jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Aktif sebagai Ketua Bag. Kesenian di BEM STAI Al-Muhajirin. Menyastra di Balas (Barudak Literatur Sastra) dan Sangsastra Purwakarta. Blog: http://pecikopat.blogspot.com/ Twitter: @pecikopat. Email: pecikopat@gmail.com. Email bem STAI Al-Muhajirin: bemstaialmuhajirinpwk@gmail.com Blog BEM STAI Al-Muhajirin : http://bemstaialmuhajirinpwk.blogspot.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar