REFLEKSI GALAU MENULIS ESAI KEPAHLAWANAN
…tokoh sejarah dan pahlawan sejati
harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang
barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi
kehidupan.
[Impian dari Yogyakarta, hlm. 38]”
― Y.B. Mangunwijaya
“Bro, saya mau tugasi kamu tulis esai,” ujar teman yang kebetulan
adalah presiden BEM STAI Al-Muhajirin Purwakarta. Saya langsung diam dan
berpikir sangat lama. Kamu tahulah, saya ini memang agak lola. Sehingga
begitu memikirkan kata “Pahlawan” saja, ingatan saya malah meloncat-loncat di koran-koran
bekas, dimana saya malah ketemu sekumpulan orang-orang yang sedang gigih
mendaftarkan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.
Oh ya! Tiba-tiba saya tersadar... “coba kau sebutkan satu kata saja
tentang pahlawan,” pinta saya. Saya pikir dia akan terdiam cukup lama seperti
saya. Ternyata dengan cepat dia berseru “terkenal!” Entah apakah Susilo Bambang
Yudhoyono, Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Dewi Perssik dan Julia Perez yang
juga “terkenal” itu bisa ditahbiskan menjadi pahlawan nasional atau tidak, barangkali
akan ada orang-orang konyol yang melakukan itu. Sebelum semua itu terjadi mari
berdoa agar Indonesia tidak terlibas kiamat duluan.
Sebagai komparasi, saya tanyakan pula hal yang sama pada teman yang
lain. Dia bilang “Eli…” maksudnya? “Waktu SMA dia bikin puisi tentang pahlawan,
puisinya bagus sekali”. “O.”
Saya tiba-tiba teringat kembali tentang begadang saya yang sia-sia
kemarin. Saya nonton “The Green Lanterns” sebuah film super hero ala Hollywood.
Seperti biasa tak ada yang menarik dari film-film sejenis ini. Semua soal special effect, kejar-mengejar
gak karuan, tembak-menembak, swim suit, aktor ganteng, perempuan cantik
nan sintal, demokrasi, dan warna-warna Amerika lainnya yang entah kenapa selalu
mendominasi di tiap scene-nya. Membuat kita seolah-olah harus berfikir
kalau Gatot Kaca tak mungkin tahu banyak soal bom nuklir. Seakan-akan pula
sebuah becak motor tak mungkin menjadi robot gagah nan perkasa layaknya Sang
Optimus Prime dalam serial Transformers.
Okelah! Meski semua ulasan ini agak aneh, tapi memang lebih baik
begitu daripada harus mengulas (lagi?) kepahlawanan seperti yang dilakukan oleh
banyak orang –mengutip kata-kata Bung Karno, orasi Bung Tomo, peristiwa 10
November, dan hal-hal lainnya yang ternyata semua itu sudah menjadi pelajaran
sejarah yang wajib di sekolah dasar.
Kemudian saya berpikir lagi, apa yang akan ditulis di esai saya
nanti? Tiba-tiba saya teringat status facebook teman-teman yang selalu
mengatakan hal yang sama ketika sebuah momen datang berulang-ulang. Misalnya
menulis “HBD WYATB” kepada setiap yang ulang tahun. Tidak kreatif dan terkesan
memaksakan diri. Alhasil “selamat hari pahlawan”pun ternyata berhasil memenuhi beranda
akun facebook kita. Entah karena ulah alien atau tangan kita yang kesurupan alien
seperti Sam Witwicky di Transformers 2.
Dalam keadaan yang demikian menggalaukan, tetiba saya merasa
mendapat wangsit untuk meresapi apa makna sesungguhnya dari kepahlawan, pahlawan,
dan hari pahlawan itu? Beberapa jam kemudian saya merasa perlu menulis sajak,
seperti saya yang kadang-kadang merasa perlu membuang hajat.
NOVEMBER SEBAGAI BAMBU
Mengenangmu, aku bambu
Paling gemuruh dalam takbirmu
Paling kibar pada benderamu
Paling runcing di leher musuhmu
Paling syahid dengan gugurmu
Dalam sajak tersebut saya mendapati diri saya berada dalam
foto-foto jadul di buku-buku sejarah. Saya adalah salah satu pemuda dengan
potongan rambut klimis, berkemeja putih, bercelana pendek putih dan bersabuk. Lalu tak lupa saya
mengikat kepala dengan kain merah. Berlari-lari membawa sebilah bambu yang
runcing dibagian atasnya, lalu agak bergeser kebawah sedikit saya ikatkan
disana sang saka merah putih. Sebuah ketapel menyembul dari pinggang.
Saya berlarian dengan teman-teman sebaya yang lainnya. Bunyi peluru,
bau mesiu, dan teriakan-teriakan membungbung di tanah kami Indonesia tercinta. Saya
adalah kuda-kuda perang dalam surat al-adiyat, saya adalah Hamzah dalam film
the massanger. Sebab sudah sejak lama saya hanyut dalam pidato Bung Karno. Lalu
di hari besar ini saya membara dibakar orasi Bung Tomo.
Saya bertakbir habis-habisan, saya menahan gemetar di hampir seluruh
persendian. Kami menyusup dari satu gang-ke gang lainnya. Tiba-tiba sesosok
setan yang malang mencegat kami. Sebuah bayonet runcing di depan hidung saya menantang,
dengan kecepatan super saya bertakbir dan menghantam sosok besar di depan saya.
Sesosok manusia rebah dengan ujung runcing bambu saya bersarang di lehernya. Saya
terpekur lama, bahkan cukup lama untuk menyadari bahwa sebuah peluru besi panas
yang penasaran sedang menukik tajam untuk membuat sarang berdarah di jidat
saya.
Menegangkan. Tapi kenyataannya saya sedang tidak berada di Surabaya
pada 10 November 1945 yang lalu. Berdarah-darah arek-rek Suroboyo mengangkat
senajata, tapi penjajahan rupanya belum habis!
Ternyata penjajahan-penjajahan sudah bermetamorfosis. Ia datang
dalam bentuk yang lebih cantik, rapih, harum, besar, dan tak kalah jahatnya.
Ia dipanggil dengan banyak sebutan: teknologi informasi, media
sosial, korupsi, hipokrisi, fanatisme ideologi, intoleransi beragama,
anarkisme, pornografi yang maklum, kesenian yang tumpul, pemerintahan yang
tidak efektif, politik pencitraan, korupsi sistematis, kolusi terlembaga, dan
nepotisme yang membudaya.
Yang lain menyebut penjajah-penjajah ini dengan nama-nama yang tak
kalah seramnya: kebodohan, kemalasan, etos kerja ngaretisme, kecanduan industri
hiburan, buta huruf, kemiskinan spiritual, kesenjangan sosial, rasisme, dan kufur
nikmat (yang belakangan ini dinamakan ‘taraf kesejahteraan sosial’).
Penjajah-penjajah ini lebih terlatih dan efektif. Mereka berjamaah
mengintai untuk selanjutnya diam-diam menenggelamkan bahtera kebernegaraan kita:
mengoyak layar kerukunan kita, merongrong pokokpokok spiritualitas kita, dan
selajutnya membiarkan kita tenggelam dalam samudera krisis multidimensi dan keputus-asa-an
yang panjang.
Butuh banyak pejuang yang lebih dari sekedar mengundang majlis The
Avengers atau jamaah Justice League (yang kebanyakan suka pakai
celana dalam di luar pakaian). Kita butuh umat mahasiswa, kaum santri,
anak-anak sekolahan, gerombolan perangkat pemerintahan, dan segala macam
lapisan masyarakat yang dapat melihat penjajah-penjajah ini sebagai binatang
buruan yang berbahaya.
Sementara kita adalah pemburu mahir yang ma(mp)u bersabar, gigih,
dan berlatih untuk membidik leher buruan dari retina anak panah kita. Sebelum
binatang buruan berbalik menerkam kita sendiri. Bulat-bulat pula!
Nah! Buat kakak-kakak angkatan kita yang ra(n)jin(g) berorganisasi
sampai skripsinya suka molor, mari kita titipkan pesan “Eta skripsi antoskeun
heula…”
***
Wow! Sekarang kamu superhero men! Ujar kawan si Green
Lantern takjub. “Yeah!” Tukas si Green Lantern bersemangat. Bergoyang-goyang
bola matanya, terkagum sendiri dengan kostum hijau-nyala yang lengket di tubuh
lelakinya. Sejenak si temannya tersebut berkerut jidatnya “Bukankah superhero
selalu punya pacar?” (Pffft! Saya pengen muntah pesawat!)
Sampai di titik akhir ini saya masih belum yakin dapat melaksanakan
tugas “menulis esai kepahlawanan” dari presiden saya tersebut. Saya merasa
galau dan perlu meng-update status.
Farid Es. Nyantri di STAI Al-Muhajirin
Purwakarta. Duduk di bus Ushuluddin, jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Aktif
sebagai Ketua Bag. Kesenian di BEM STAI Al-Muhajirin. Menyastra di Balas
(Barudak Literatur Sastra) dan Sangsastra Purwakarta. Blog: http://pecikopat.blogspot.com/ Twitter: @pecikopat. Email: pecikopat@gmail.com. Email bem STAI Al-Muhajirin: bemstaialmuhajirinpwk@gmail.com Blog BEM STAI Al-Muhajirin :
http://bemstaialmuhajirinpwk.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar